Sabtu, 21 Juli 2007

Panjang Djimat

UPACARA pelal Panjang Jimat sendiri merupakan puncak dari seluruh rangkaian berbagai acara tradisi yang berlangsung di Keraton Kesultanan Kasepuhan, Keraton Kesultanan Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Pelal adalah kata dalam bahasa Jawa Cirebon yang berarti ujung atau akhir.
Seperti daerah lainnya di Pulau Jawa yang memiliki akar budaya tradisi di keraton, peringatan Muludan di Cirebon juga digelar secara meriah sejak sebulan sebelumnya dalam bentuk pesta rakyat dan pasar malam di alun-alun setiap keraton.
PUNCAK dari seluruh rangkaian acara tersebut adalah upacara pelal Panjang Jimat yang diselenggarakan langsung oleh kerabat utama keraton dan dipimpin oleh sultan masing- masing.
Bagi yang pertama kali mendengar mengenai ritual Panjang Jimat ini pasti menduga upacara tersebut melibatkan sebuah jimat atau pusaka milik keraton yang ukurannya panjang. Mungkin senjata sejenis tombak atau semacamnya yang terlintas di kepala.
Padahal, sesungguhnya ritual Panjang Jimat sama sekali tidak berhubungan dengan pusaka atau jimat apa pun, apalagi yang berbentuk gaman atau senjata.
Dari seluruh prosesi iring- iringan ritual tersebut, tidak satu pun perangkat upacaranya berupa senjata pusaka, melainkan berbagai jenis makanan, makanan kecil, dan minuman.
Penguasa Kesultanan Kasepuhan, Sultan Sepuh XIII Maulana Pakuningrat, menjelaskan, nama Panjang Jimat terdiri atas dua kata, yakni "panjang" yang artinya terus-menerus tanpa terputus dan "jimat" yang merupakan akronim dalam bahasa Jawa: siji kang dirumat (satu yang dipelihara).
Menurut Sultan Sepuh, jimat yang dimaksud adalah dua kalimat syahadat yang menjadi pegangan utama umat Muslim sedunia. "Jadi, makna Panjang Jimat adalah pesan kepada setiap umat Islam untuk selalu berpegang kepada dua kalimat syahadat selamanya, terus-menerus tanpa terputus," papar Sultan Maulana Pakuningrat.
PELAKSANAAN puncak upacara Panjang Jimat sendiri dimulai sekitar pukul 20.00 dan dilangsungkan di Bangsal Panembahan dan Bangsal Prabayaksa, dua ruang utama Keraton Kasepuhan.
Di Bangsal Panembahan yang merupakan ruangan paling sakral di keraton, para ulama dan kyai berdoa. Sementara Bangsal Prabayaksa adalah tempat Sultan dan seluruh keluarganya serta para tamu undangan mengikuti upacara.
Di Bangsal Prabayaksa itu, Sultan Sepuh menyerahkan Payung Agung Kesultanan Kasepuhan kepada Putra Mahkota Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat sebagai simbol penyerahan wewenang dan tanggung jawab untuk memimpin seluruh prosesi iring-iringan upacara, dari Bangsal Prabayaksa menuju Langgar Agung di halaman depan keraton.
Setelah payung kebesaran diserahkan, satu demi satu perlengkapan upacara dikeluarkan dari Keputren dan Bangsal Pringgadani untuk disemayamkan sejenak di Bangsal Prabayaksa sebelum dibawa dalam sebuah prosesi menuju Langgar Agung.
Di Keraton Kasepuhan, prosesi Panjang Jimat terdiri atas sembilan kelompok, yang masing-masing memiliki makna tersendiri berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Kelompok pertama terdiri atas para punggawa dan pengawal keraton yang membawa obor serta payung.
Kelompok pertama ini menggambarkan kesiapan Abdul Mutholib, kakek Nabi Muhammad SAW, yang siap siaga menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Obor melambangkan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada malam hari.

Kelompok kedua adalah kelompok perangkat upacara yang membawa manggaran, nagan, dan jantungan (semacam hiasan upacara terbuat dari logam berwarna keemasan, berbentuk seperti manggar atau tangkai bunga kelapa, ular naga, dan jantung pisang).
Perangkat upacara tersebut menggambarkan kebesaran dan keagungan bayi yang hendak lahir. Dalam kelompok kedua juga terdapat pembawa air mawar dan pasatan (sedekah) yang melambangkan kelahiran seorang bayi selalu didahului pecahnya air ketuban dan disyukuri dengan memberikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan.

Kelompok ketiga terdiri atas Putra Mahkota yang mewakili sultan dengan dinaungi Payung Agung Keraton dan diiringi para sesepuh keraton.
Kelompok ini menyimbolkan bayi yang baru lahir dan kelak akan menjadi seorang pemimpin besar.

Selanjutnya disusul kelompok keempat yang dipimpin oleh Kyai Penghulu dan rombongan pembawa kembang goyang yang melambangkan keluarnya ari-ari sebagai pengiring kelahiran dan boreh atau sejenis jamu yang diberikan kepada ibu yang baru melahirkan guna menjaga kesehatannya. Kelompok ini juga diiringi tujuh pembawa nasi rasul panjang jimat, yaitu nasi yang diwadahi dalam bakul-bakul dan ditutupi menggunakan kain mori putih. Bilangan tujuh melambangkan jumlah hari dalam seminggu.
Kelompok keempat disusul kelompok kelima yang membawa sepasang guci yang berisi minuman serbat. Minuman tersebut melambangkan darah sebagai tanda bahwa kelahiran telah usai.

Di belakangnya menyusul kelompok keenam yang membawa empat baki berisi botol-botol minuman serbat.
Angka empat melambangkan bahwa manusia terdiri atas empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan angin.

Kelompok ketujuh terdiri atas pembawa enam wadah masing-masing berisi nasi uduk (nasi berasa gurih), tumpeng jeneng, dan nasi putih.
Rombongan ini melambangkan bahwa bayi yang baru lahir perlu diberi nama (jeneng) yang baik dengan harapan kelak akan menjadi orang yang berguna.

Kelompok kedelapan terdiri atas empat buah meron (semacam baki besar yang dipikul) berisi bermacam-macam makanan hidangan untuk peserta Asrakalan di Langgar Agung, disusul empat dongdang (pikulan besar berbentuk rumah- rumahan) yang juga berisi berbagai macam lauk-pauk dan makanan kecil untuk hidangan peserta Asrakalan.
Kelompok terakhir atau kesembilan adalah rombongan para sentana wargi (kerabat keraton), nayaka (tetua atau sesepuh), dan para undangan yang ingin mengikuti langsung upacara Asrakalan di Langgar Agung.

Upacara Asrakalan adalah rangkaian terakhir dari upacara Panjang Jimat. Asrakalan dilaksanakan di dalam Langgar Agung dan berisi pembacaan Kitab Barzanzi dan membaca Shalawat Nabi. Asrakalan dilangsungkan sampai tengah malam. Setelah usai, rombongan kembali membawa perangkat upacara ke dalam keraton untuk disimpan dan siap digunakan lagi tahun depan

Siapa Syeh Siti Djenar

Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499)
Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda.
Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri).
Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam.
Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali.
Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.
Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:
Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;
Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;
Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;
Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;
Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera;
Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya;
Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru;
Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :
Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;
Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan;
Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;
Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia;
Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :
Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;
Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;
Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.
Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.
Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap "subversif" yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar).
Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.
Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat "tak terbatas" (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.
Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.
Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya.
Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi : "Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri".*
sidang para Wali
Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba,mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaika di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M. Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie.

Pedah punapa mbibingung,
Ngangelaken ulah ngelmi,
NJeng Sunan Giri ngandika,
Bener kang kaya sireki,
Nanging luwih kaluputan,
Wong wadheh ambuka wadi.
Telenge bae pinulung,
Pulunge tanpa ling aling,
Kurang waskitha ing cipta,
Lunturing ngelmu sajati,
Sayekti kanthi nugraha,
Tan saben wong anampani.

Artinya:
Syeh Siti Jenar berkata, untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit ilmu? Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah besar,karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya.

Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.

Ngrame tapa ing panggawe
Iguh dhaya pratikele
Nukulaken nanem bibit
Ono saben galengane

Mili banyu sumili
Arerewang dewi sri
Sumilir wangining pari

Sêrat Niti Mani
. . . Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah.
Sarêng jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita:

Kinanti
Wau kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti.
Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi.
Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani.
Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika,neng kaanan ênêng êning.
Dari versi Cirebon Syech Siti Djenar di adili oleh Dewan Wali di Masjid Agung Sang Ciptarasa. Dimana saat itu terjadi dialog antara para Wali dan Syech Siti Djenar. Siti Djenar berubah-ubah wujud pada akhirnya berubah menjadi bunga Melati yang sangat harum baunya dan akhinya bunga tersebut di makam kan di daerah selatan cirebon sehingga daerah tersebut di sebut Kemlaten. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa Dewan Wali menggantinya dengan bangkai anjing supaya masayarakat pada saat itu meyakini kebenaran ajaran Wali sanga.
Banyak sekali versi yang menulis riwayat Syeh Siti Djenar ini yang tentunya kita harus lebih arif menyikapi siapa sebenarnya Syech Siti Djenar dan apa yang beliau ajarkan pada masyarakat awam saat itu. Karena selama ini masih terjadi simpang siur kebenaran nya. Karena kalau memang terjadi persidangan dan hukum pancung pada saat itu kenapa juga sejarah tidak mencatat jelas kapan, dimana, apa yang terjadi saat itu.

Masa depan Kasultanan Cirebon

Cirebon dengan empat kesultanan, yakni Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaparabonan, sesungguhnya merupakan aset budaya yang tak ternilai. Sayangnya, konflik internal yang terjadi di Kanoman membuat keberlangsungan budaya dan kesultanan Islam menjadi terganggu. Simbol-simbol adiluhung di keraton telah dicemari oleh kepentingan kekuasaan, wibawa, dan kepentingan keluarga.
Sebut saja, ketika di keraton Kanoman terjadi pelantikan dua sultan pada Rabu malam tanggal 5 Maret dan Kamis siang tanggal 6 Maret 2003. Hal itu menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton. Pelantikan kedua sultan ini dihasilkan dari ketaatan atas adat dan wasiat. Takhta Sultan Kanoman XII yang diturunkan kepada Elang Muhammad Saladin pada Rabu malam itu didasarkan pada surat wasiat yang ditinggalkan oleh almarhum Sultan Kanoman XI, Pangeran Raja Haji Muhammad Djalaludin yang menunjuk Saladin sebagai penggantinya. Sementara takhta yang diturunkan kepada Pangeran Raja Muhammad Emirudin pada hari kamis, kurang dari 24 jam sejak penobatan Saladin, didasarkan pada adat (tradisi) yang berlaku di kesultanan Kanoman yang biasanya putra pertama sultan dari garwa ratu atau permaisuri memiliki hak otomatis sebagai putra mahkota. Jadi, pada hari Kamis 6 Maret 2003 Keraton Kanoman mempunyai dua sultan; satu takhta dua raja. Sampai kini konflik di antara keduanya belum berakhir bahkan terjadi tindak "kekerasan" dari titah Sultan Emirudin kepada Sultan Saladin dan keluarganya untuk meninggalkan Keraton Kanoman. Siapapun belum ada yang berhasil melerainya.
Sesungguhnya para pewaris takhta kerajaan atau para sultan sekarang sadar bahwa keraton dan takhta kesultanan bukan lagi tempat mencari harta dan melanggengkan kuasa. Mereka justru dipusingkan untuk mengelola harta pusaka keraton, dan berjuang memperoleh kembali hak mereka tanpa bantuan siapa-siapa. Nama besar keraton dan kesultanan di masa silam memang megah dan berwibawa, tapi kini bila memasuki Keraton Kanoman yang sedang ramai dengan suksesi itu, di depan gerbang keraton cuma tersisa sekerat tanah alun-alun yang semrawut dan kotor, yang seolah-olah menjadi halaman pasar sore, jalan selebar delapan meter menuju keraton menyempit karena dikuasai pedagang kaki lima yang berebut lahan dengan abang-abang becak. Dan di belakang gerbang ada istana yang kini hanya tampak seperti sekumpulan bangunan tua dengan rumput liar di sekelilingnya; simbol kekuasaan keraton seakan tinggal puing; masa depan keraton mulai redup.
Dalam perebutan takhta kesultanan itu saya mengamatinya sebagai bentuk persaingan wibawa tradisional karena sultan mempunyai kedudukan, kekuasaan, dan pemegang mandat berbagai upacara tradisional. Sehingga persaingan itu saya rasa sulit untuk diselesaikan bahkan oleh pengadilan sekalipun. Tetapi akan lebih cepat selesai jika ditempuh dengan jalan ishlah; masing-masing mengakui alur kekerabatan dan kepentingan pelestarian wibawa itu dengan menyerahkan mandat karismatik dan wibawa tradisionalnya kepada salah satu di antara keduanya. Meski itu pun adalah pilihan yang juga mempertaruhkan wibawa keluarga masing-masing. Sebab, bagaimana pun wibawa tradisional itu telah terbangun oleh unsur-unsur magis religius yang biasanya muncul pada upacara-upacara sakral dan diikuti oleh ketaatan rakyat kepada sultannya. Dan legitimasi atas sultan yang diakui sebagai pemimpinnya itu baru dapat dilihat dari ketaatan rakyat kepada sultannya.

Pecahnya Kasultanan Cirebon

Sejarah Kesultanan di Cirebon diawali dari pertumbuhan dan perkembangan kesultanan yang dibangun oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (1478-1598). Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565. Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun (1570-1649).
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Ratu II (1649-1662/1667).
Gelar kepala negara Cirebon, sejak putra Panembahan Girilaya naik takhta pada tahun 1677, berubah dari gelar Panembahan menjadi Sultan sebagaimana digunakan oleh Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703) dan Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723). Gelar Sultan ini diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya pun dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibu kota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai kekuasaan penuh; mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat, dan keraton masing-masing.
Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan, melainkan hanya sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713). Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton sendiri, namun berdiri sebagai kaprabonan (paguron) tempat belajar para intelektual keraton.
Pembagian Kesultanan Cirebon kepada tiga orang, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon sejak tahun 1677 merupakan babak baru terpecahnya keraton Cirebon kepada tiga orang putra Pangeran Girilaya yang masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya.
Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai caretaker.
Suksesi para sultan pada umumnya berjalan lancar, meskipun pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803) pernah terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (surat keputusan) Gubernur Jenderal Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sementara takhta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman.

Sejarah Cirebon




Jika kita membuka catatan sejarah, pada abad ke-15 dan 16 Masehi Cirebon merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarpulau. Lokasinya di pantai utara Jawa perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya berperan sebagai pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, Cirebon, bukan Jawa dan bukan pula Sunda.
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, pendiri kota Cirebon adalah Raden Walangsungsang -- putra Prabu Siliwangi dari Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, seorang puteri Ki Gedeng Tapa saudagar kaya di Pelabuhan Muarajati Cirebon -- yang membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) dimulai pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Dukuh yang dibangun itu lama kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (campuran), karena di sana bercampur para pendatang untuk bertempat tinggal atau berdagang, mereka terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat, serta mata pencaharian yang berbeda.
Ki Gedeng Alang-alang diangkat oleh masyarakat baru itu menjadi Kuwu Caruban yang pertama, dan Walangsungsang diangkat sebagai Pangraksabumi. Mata pencaharian mereka pada mulanya adalah sebagai nelayan. Ki Gedeng Alang-alang, setiap malam bekerja menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai dan pada siang harinya membuat terasi, petis, dan garam. Dari air belendrang bekas pembuatan terasi dari rebon, desa ini dikenal pula dengan sebutan Cirebon (cai-rebon).
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Bahkan ketika kakeknya, Ki Gedeng Tapa yang juga bergelar Ki Gedeng Jumajan Jati penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon.
Usai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana yang kemudian disebut Haji Abdullah Iman tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon. Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Dengan empat keraton, yakni Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh yang dianggap paling penting karena merupakan keraton tertua yang didirikan pada tahun 1529, Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Kaprabon. Cirebon tumbuh sebagai pusat pemerintahan (keraton) dan pusat pendidikan (pengembangan ajaran Islam) di Jawa Barat